topbella

Jumat, 03 Februari 2012

Merpati Tak Lagi Terbang





Kisah ta’arufku hampir enam tahun silam masih membekas di benak. Sungguh, kalau ingat saat itu aku merasa menjadi orang paling konyol di dunia, sekaligus merasa jadi orang paling beruntung. Saat ta’aruf, saat hendak menikah, saat hari H pernikahan, semua menyisakan kenangan lucu dan konyol. Bahkan aku tak tahu hari pernikahanku.
Panggil aku Sofi, anak ke 6 dari 7 bersaudara. Hidupku dipenuhi kasih sayang dan bermanja-manja. Tapi orang tuaku juga mengajarkan kami sikap mandiri dan bekerja keras serta sikap peduli dan menolong. Orangtuaku tak membedakan anak laki-laki dan perempuan. Tugas di ladang yang terletak di lereng bukit dibagi bertujuh. Tentunya sesuai kemampuan kami. Pun saat sumur kering, kami biasa bersama-sama mengambil air di sungai di bawah bukit yang lumayan jauh. Tapi kami senang melakukannya. Sebab sambil bekerja, bapak juga mengajak kami bermain disela-selanya.
Mungkin kebiasaan naik turun bukit itu, yang kemudian hari menguatkan jiwa petualanganku naik turun gunung. Aku diantara saudara perempuanku memang paling tomboy dan bandel. Tapi masih sebagaimana umumnya kenakalan anak-anak, tak sampai ke hal negatif. Saat SMU hobi naik turun gunungku masih menggila. Awalnya orang tua sering melarang, bahkan aku kena marah. Tapi akhirnya orangtuaku menyerah menasehatiku untuk berhenti naik gunung. Apalagi setelah sering melihat aku baik-baik saja dengan hobiku, mereka membiarkanku, tapi memintaku untuk berhati-hati. Aku senang main, sebaliknya akupun menjaga kepercayaan mereka.
Oya, aku tinggal di lingkungan yang Alhamdulillah bagus. Keluargaku muslim rajin sholat. Sementara banyak tetangga di desaku yang pria bercelana gantung dan wanitanya berjubah serta bercadar, aku menganggap mereka aneh. Namun aku akrab dengan akhwat-akhwatnya. Yang pada akhirnya setelah menikah kelak, aku tahu mereka itu bermanhaj salaf. Hidayah memang belum datang padaku, saat itu akupun belum berjilbab bahkan dalam keluargaku banyak bid’ah dan syirik.
Seiring waktu, lulus SMU, aku mulai berjilbab kecil. Aku masih tomboy dan tetap rajin naik gunung. Tak berapa lama, aku mendapat tawaran dari seorang tetangga bekerja di Batam. Si tetangga sudah lama disana. Kebetulan pula beberapa anak Pak Dhe dan Omku juga mengais rizki disana. Kupikir apa salahnya mencari pengalaman? Atas ijin ortu aku berangkat. Di Batam hobi naik gunungku makin menggila, bahkan hingga Sumatra dan Kalimantan. Bila kerja libur, aku berpetualang. Selain itu aku mulai rajin ngaji di ta’lim yang diadakan sesama karyawan.
6 tahun di Batam, aku pulang ke Jawa. Aku masih saja ke gunung. Hingga suatu sore Bapak bilang, “Kamu mau dilamar nduk! Besok ada yang mau datang ketemu”. Aku tak terkejut, malah tertawa ngakak, hingga bapak mencubitku. Dan aku bilang ke Bapak, “Jam berapa pak? Pagi atau siang, soalnya Sofi mau naik gunung. “Lagi-lagi bapak mencubitku, ”Dasar otak gunung”, ujarnya sambil berlalu. Ada yang tahu perasaanku saat itu? Datar dan biasa saja. Bahagia? Entah. Aku tak merasakan apa-apa. Bahkan, penasaran siapa laki-laki yang hendak melamarku pun tidak. Bahkan saat kakak dan adikku meledek, aku biasa saja. Maklum, selama ini sosok makhluk bernama “laki-laki” tak pernah ada di otakku, pacaran pun aku tak pernah. Naksir cowok? Jauh dari daftar acaraku, tapi itu bukan berarti aku tak punya teman laki-laki lho…,
Esok yang dijanjikan pun tiba. Kakak-kakak dan adikku heboh mengintip, tapi aku biasa saja. Hingga bapak memanggilku ke ruang tamu. Aku memakai baju gunungku, kupikir aku tampak percaya diri dan gagah, bagiku itu pakaian terbagus dari pada rok panjang yang ribet. Kubiarkan ibu dan kakak-kakakku ngomel karena aku tak mau memakai “pakaian feminim” yang sudah susah payah disiapkan.
Masuk ruang tamu, aku tak berani menatap yang hadir. Aku duduk dekat Bapak. Mukaku seperti udang rebus dan ini baru terjadi sekali dalam hidupku. “Gimana Sof, kamu mau? “Bapak memecah kebekuan. Aku hanya menunduk dari tadi. Diam. Tak menjawab Bapak. Mataku justru sibuk melihat kaki pelamarku. Kaki yang putih dan bersih. Hingga Bapak menyentuh punggungku. Karena terkejut aku tak bisa mengontrol ucapanku “Putih Pak, aku mau!”
Astaghfirullah,,, ini akibat mata yang diumbar. Ruang tamu dipenuhi tawa tertahan keluarga besarku. Aku tak tahu, apa yang ada di benak pelamarku tentang aku … ah masa bodo ….
Tak sampai seminggu setelah lamaran, Bapak menemuiku. Saat itu hari Rabu, aku tengah bersiap untuk mendaki ke gunung Semeru. Bapak bilang aku harus mengurus surat nikah, karena hari Senin depan aku menikah. Aku protes karena aku tak diberi tahu sebelumnya. Padahal setahuku, pelamarku itu cuma datang sekali kerumah. Rupanya Mas Hari, ikhwan tetangga, yang jadi perantara dengan Bapak. Aku ngotot naik gunung meski keluargaku melarang. Aku berjanji insya Allah hari Minggu sudah kembali ke rumah. Bapak kecewa dengan keputusanku, tapi saat aku pamit Bapak tertawa dan mencubitku. Bapak bilang,
“Sebentar lagi, otak gunungmu akan hilang”
Hmmm … benarkah ?
Minggu sore, aku pulang disambut omelan ibu. Karena was-was. Tapi Bapak adem adem saja. Justru yang malah marah Pak Dhe dan Embah. Tak cuma ngomel padaku, tapi juga pada Bapak dan Ibu, karena tak memingitku. Sebagaimana tradisi di daerahku, orang yang mau jadi pengantin tak boleh keluar rumah. Sedang aku? he … he…
Begitulah, tenda biru telah didirikan sehari sebelum aku turun gunung. Bila ada tamu datang, mereka mencari calon pengantin. Bapak dan ibu bilang sedang naik gunung. Maka tamu pun bingung dan berkomentar ini itu. Itu sebagian kekonyolan menjelang pernikahanku.
Hari itu pun tiba. Akad nikah dibalik tabir itu berlangsung khidmat. Tak terasa airmata menetes saat ijab kabul, bahkan Bapakpun menangis.
Demi Allah, aku merasa bahagia luar biasa. Kemarin aku masih seperti merpati, bebas kemana saja, beberapa jam kemudian ternyata aku sudah terikat pernikahan. Subhanalloh. Setelah ijab kabul, aku diminta tanda tangan buku nikah. Kudengar dari balik tabir Bapak meminta seorang laki-laki masuk dengan membawa buku nikah keruang aku dan keluarga besarku serta tamu undangan wanita. Itulah untuk pertama kalinya. Aku melihat jelas wajah suamiku. Putih seperti kakinya dan tampak dengan jenggot lebat yang rapi. Aku merasa tiba-tiba jatuh cinta!! Tengah dimabuk asmara, aku tak berhenti mencuri pandang padanya. Namun apa yang terjadi?? Deg-degan menanti, mas Hasan suamiku – bukan ke tempat dudukku malah dengan pedenya menyambangi tempat duduk adikku, sambil menyerahkan buku nikah. Serempak orang diruang itu berteriak. “Salah mas, pengantinnya bukan yang itu, tapi ini”. Kulihat muka mas Hasan bersemu merah. Ia tampak malu dan menahan tawa sambil menuju ke arahku. Ruang yang penuh dengan kebahagiaan kian semarak dengan gelak tawa.
Wajahku dan adikku memang mirip. Saat kejadian itu, ia berdandan dengan baju payet indah yang seharusnya kupakai saat itu, tapi aku lebih memilih memakai jubah dan kerudung kecil sederhana hingga tak mencolok seperti adikku. Eh, malah jadi keliru … Alhamdulillah, akhirnya aku resmi jadi istri.
Setelah menikah hidupku berubah. Kini telah kutempuh manhaj mulia ini atas bimbingan mas Hasan dan tentunya hidayah Allah pula. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada mas Hari dan istri yang telah berani merekomendasikan aku pada calon suamiku, padahal aku masih
jahil saat itu. Semua itu mereka lakukan karena sayang dan kasihan padaku yang sering berpetualangan, rencana nikah 3 bulan ke depan dimajukan lima hari setelah lamaran!! Saat pernikahan pun berlangsung tanpa musik dan syar’i.
Alhamdulillah, bapak bisa diajak kerjasama oleh mas Hari dan mas Hasan, Lagi pula bapak juga ingin aku berhenti berpetulangan dan sangat setuju aku menikah.
Kini aku hamil 5 bulan anak keduaku. Aisyah anak pertamaku mulai masuk TK, Alhamdulillah aku hidup bahagia serta tak henti kusyukuri Allah memberiku suami yang mencintaiku karena-NYA dari sejak berjumpa. Bahkan kini, Bapak pun menempuh manhaj Salaf. Sekali lagi, tak henti kuucap syukur pada Allah atas semua ini.
(Ummu Zubair)
Sumber : gugundesign.wordpress.com

Pelangi Terakhir untuk Icha

Pelangi Terakhir Untuk Icha

Siang itu langit tidak begitu cerah karena hujan baru saja berhenti mengguyur bumi ini.
Langsung saja aku melajukan mobil jazz biru-ku keluar dari sekolah yang begitu asri meski penghuninya adalah laki-laki semua. Melintasi jalanan yang becek akibat hujan tadi.
Byaaaarrrr….
Tak sengaja aku melintasi jalanan yang ada genangan air dan air tersebut membasahi baju seorang siswi yang sedang duduk di bangku taman dekat sekolahku. Gadis itu langsung bangun dari duduknya. Sambil membersihkan bajunya yang basah dan kotor mulutnya seraya mengatakan sesuatu seperti marah-marah.
“Huh sialan ! Baju gue jadi kotor dan basah gini kan ! Hey, baru bisa bawa mobil yah ? Atau enggak punya etika berkendara yang baik ? Enggak liat apa kalo ada orang disini. Aaaaahhhh !!” maki gadis itu kepadaku.
Kakiku langsung menginjak pedal rem. Mobil berhenti tak jauh dari tempat gadis itu. Aku melirik kaca spionku, ku lihat gadis itu tampaknya marah sekali karena bajunya basah karena kecripatan air hujan yang menggenang di jalanan. Sekilas aku memperhatikan gadis itu, dia tampak manis dan lucu meski ekspresi wajahnya adalah marah. Aku akui, gadis itu memang cantik.
Tanpa mempedulikan gadis itu yang masih ngomel-ngomel, aku langsung tancap gas karena saat itu aku memang sedang terburu-buru.

***

Ohh iya, hampir saja aku lupa memperkenalkan diri. Hehehe
Namaku Aldo Ramadhan. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sekarang aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tahun ajaran terakhir. SMA Taruna Karya.
Nah, kalau gadis yang aku ceritakan di awal tadi namanya Nissa Putri Maharani. Dia adalah gadis yang periang, lucu, baik hati, ramah, juga gampang bergaul. Satu kelebihan dia adalah senyumanya yang manis yang mampu membuat hati yang melihatnya menjadi damai. Seperti saat melihat pelangi sehabis hujan.
Dan inilah ceritaku :)

***

“Hmm akhirnya sampai juga dirumah. Capeeekkk !” seraya membaringkan tubuhku di sofa empuk.
“Kok lama banget pulangnya, Do ? Kemana dulu tuh tadi ? Ngapelin cewek dulu yahh.“ ledek Kak Nanda.
“Lho Kakak ? Kok udah pulang aja, baru aku mau jemput.” Tanyaku heran melihat Kak Nanda sudah dirumah.
“Kelamaan nungguin kamu, jadi Kakak pulang aja naik taksi.”
“Yaahh maaf yah, Ka aku enggak bisa jemput Kakak di kampus. Tadi aku ada tambahan jam pelajaran, jadi pulang telat deh.”
“Iya enggak apa-apa kok. Naik ke atas sana, ganti baju terus makan.”
“Kakak udah makan ?”
“Udah tadi bareng sama Mamah.”
“Yasudah aku ganti baju dulu yah, ka. Dadaaah Kakakku sayang !” sambil mencium pipi Kakak aku langsung berlari menuju kamarku.
“Dasar Aldo nyebelin.”

***

Udara malam ini cukup dingin, memaksaku harus memakai pakaian panjang. Tugas sekolahku baru saja selesai aku kerjakan. Sekarang waktunya aku bersantai di temani lagu-lagu favoritku yang sedang mengantri di playlist MP3-ku.
Aku berbaring di kasur. Mataku memandang langit-langit kamar yang berwarna biru cerah. Tiba-tiba wajah gadis itu terlintas disana. Wajah yang manis yang membuat orang ingin menatapnya lebih lama.
“Hey, kira-kira tadi dia pulangnya gimana yah ?” tanyaku seraya merubah posisiku menjadi duduk. “Ah gue jadi merasa bersalah deh sama dia, udah bikin bajunya dia basah dan kotor gitu bukannya minta maaf ehh malah langsung pergi gitu aja. Tapi, apa yang dia lakukan disana ? Duduk sendiri sambil menatap langit. Apa dia sedang menunggu seseorang ?” tanyaku yang penasaran.

***

Di tempat yang berbeda, seorang gadis duduk di balkon kamarnya menatap langit. Langit malam ini sangat cerah, bertaburan bintang-bintang yang indah berkelip. Nampaknya malam ini hujan tidak turun meskipun udaranya cukup dingin.
“Bintangnya banyak banget malam ini. Itu artinya hujan tidak akan turun.” ujar gadis yang akrab di sapa Icha.
“Lagi ngeliatin apa sih ? Kayanya seneng banget, senyumnya sumringah gitu.” Ledek Bunda. “Perasaan tadi pulang sekolah mukanya di tekuk, bete, cemberut gara-gara bajunya basah dan kotor.”
“Ahh Bunda mah, jangan ngeledekin Icha dong !”
“Bunda enggak ngeledek kamu kok, Sayang !”
“Ehh Bun, langitnya cerah yah, bintangnya juga banyak tuh.”
“Iya, malam ini hujan tidak turun jadi bintang-bintang berkelip dengan indah menemani rembulan menyinari malam ini.” Seru Bunda mengiyakan pendapatku. “Kamu udah makan ?”
“Hmm belum, Bun. Tadi doang makannya pulang sekolah.”
“Yaudah sekarang kita makan dulu yuk. Ayah sama Dimas udah nunggu di bawah tuh.”
“Bunda turun duluan deh, aku mau beresin buku dulu buat besok.”

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua anak langsung berhamburan keluar kelas. Suasana sekolah pun ramai. Seperti biasanya, aku dan teman-temanku langsung menuju lapangan futsal untuk sparing futsal sama anak kelas yang lain.
“Ehh kalian ke lapangan duluan aja, nanti gue nyusul.” Seru Dimas membuka pembicaraan.
“Emangnya lu mau kemana, Dim ?” Tanyaku.
“Mau ke SMA sebelah. Bentar doang kok. Oke.” Seraya pergi meninggalkan anak-anak yang lain.
Tanpa sepengetahuan Dimas aku mengikutinya dari belakang. Ternyata memang benar Dimas ke SMA sebelah. Tepatnya sih menemui seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman sekolah.
Ada beberapa gadis disana. Mereka sedang bersenda gurau. Tunggu. Gadis itu bukannya yang kemarin bajunya basah dan kotor karenaku. Dimas menemui gadis itu. Ada hubungan apa Dimas dengan gadis itu ?
Ku putuskan untuk menanyakan tentang gadis itu ke Dimas sepulang sekolah nanti. Sekarang lebih baik aku balik ke lapangan futsal.

***

Cuaca siang ini tidak begitu panas karena ada awan mendung yang sedang berdiam diatas sana. Entah kapan air hujan itu akan turun kembali membasahi tanah ini.
Hari ini Dimas pulang denganku. Motornya lagi di servis di bengkel. Kebetulan arah rumahku dengannya juga searah. Sekalian aku ingin menanyakan soal gadis itu.
“Jadi balik bareng gue enggak, Dim ?”
“Jadi lah, kalo enggak jadi gue pulang naik apa !”
“Yaudah kalo gitu kita cabut sekarang aja.”
“Tapi nanti dulu masih nunggu orang.”
“Emangnya nunggu siapa lagi ?”
“Ada lah, yaudah kita tunggu di taman depan aja deh.”
Mobilku pun telah keluar dari gerbang sekolah dan sekarang sedang terparkir di taman depan SMA Tunas Bangsa. SMA khusus untuk perempuan. Masih satu yayasan dengan sekolahku.
“Lu nungguin siapa sih ? Cewek lu yaahh.” Tanyaku setengah meledek.
“Bukan, dodol. Sejak kapan gue punya cewek !”
“Terus nunggu siapa ? Cewek yang tadi lu temuin yah pas istirahat.”
“Kok tau kalo gue nemuin cewek tadi ?”
“Tau lah, kan lu bilang mau ke SMA sebelah. SMA sebelah kan sekolah cewek, udah pasti lu nemuin cewek. Ahh gimana sih lu !”
“Ohh iya yah gue lupa. Hehe “ dengan wajah polosnya sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatel.
“Mana deh ? Lama banget.”
“Bentar lagi keluar kok. Nah tuh dia anaknya.” Sambil menunjuk ke salah seorang gadis yang sedang berjalan keluar gerbang sekolah.
“Yang itu, Dim ?”
“Iya itu. Bentar yah gue mau ke sana dulu.”
Tak lama Dimas pun kembali ke dalam mobil bersama gadis itu. Gadis yang kemarin ku buat kesal.
“Ehh Do, kenalin nih Nissa biasanya di panggil Icha. Icha, nih Aldo temen gue.” Dimas pun memperkenalkan aku dengan gadis itu.
“Icha.”
“Aldo.” Tak sadar jantungku berdetak dengan cepat saat menjabat tangannya dan melihat matanya. Suaranya pun indah terdengar olehku. Sesaat aku terdiam. Suara Dimas menyadarkanku.
“Wooyy Do, ngapain bengong ? Kapan baliknya nih ?”
“Ehh iya he-eh. Sorry sorry gue bengong. Yaudah kita balik sekarang, tapi mampir dulu yah kita makan dulu, laper nih gue. Gue yang traktir deh.” Sambil menyalakan mobil dan kemudian meninggalkan taman SMA Tunas Bangsa.
Di dalam mobil tak ada pembicaraan, hanya suara music yang terdengar. Ku putuskan untuk membuka pembicaraan. Enggak nyaman rasanya dengan suasana seperti ini. Canggung.
“Dim, Icha siapa lu ? Pacar yah ? Hayo ngaku sama gue !” ledekku setengah tertawa.
“Haahh pacar ?” saut Icha dengan nada sedikit kaget. Namun tak lama terlihat senyum manis darinya yang ku lihat dari kaca depan.
“Ett nih anak ngeyel amat kalo di bilangin. Gue kan udah bilang tadi, gue enggak punya pacar !”
“Lah terus itu siapa ? Ngenalin ke gue cuma namanya doang.”
“Gue adenya Dimas kali.” Seraya senyum itu mengembang di sudut bibir tipisnya.
“Ehh adenya Dimas toh. Cantik. Kok lu enggak bilang-bilang sih kalo punya ade cewek, Dim ?”
“Ngapain gue bilang-bilang, emangnya penting gitu buat lu ? Iyalah cantik, kakaknya aja ganteng.” Jawab Dimas sambil tertawa bangga. Sedangkan Icha hanya tersenyum dengan wajah yang memerah. Senyum yang membuat jantungku kembali berdetak dengan cepat.
“Yeee dasar lu ! Oh iya Cha, gue mau minta maaf nih sama lu.”
“Lho minta maaf ? Emang punya salah apa sama gue ? Kenal aja baru beberapa menit yang lalu.” Tanya Icha yang heran karena aku tiba-tiba langsung minta maaf kepadanya.
“Kemaren baju lu basah kan gara-gara kecpritan air pas lu lagi duduk di bangku taman sekolah.”
“Lho kok lu tau ? Tau dari mana ?” Tanya Icha semakin bingung.
“Nah makanya itu gue minta maaf sama lu, kemaren yang nyepretin air ke lu tuh gue. Tapi gue enggak sengaja, beneran deh. Gue enggak tau kalo ada air di situ. Terus juga bukannya gue enggak mau minta maaf sama lu kemaren, gue buru-buru banget jadi gue cuma berenti bentar langsung pergi lagi.” Jelasku sejelas-jelasnya berharap Icha enggak marah dan mau maafin aku.
“Ohh jadi elu toh yang bikin baju ade gue basah kemaren. Gara-gara lu, Icha kemaren ngamuk di rumah. Orang rumah di diemin sama dia.” Sambar Dimas yang kesal karena di diemin sama Icha kemarin.
“Waduuhh sabar sabar, jangan pake emosi gitu lah, Mas ! Ichanya aja enggak sewot, ehh malah elu yang ngomel ama gue.”
“Ehh udah-udah enggak usah berantem gitu. Iya enggak apa-apa kok, Do tapi lain kali hati-hati kalo bawa mobil.” Jawaban Icha menenangkan hatiku. Ternyata dia enggak marah sama aku. Aku tersenyum.
“Ahh elu mah, De masa maafin Aldo sih ? Kemaren gue di diemin seharian, salah juga enggak sama lu !”
“Hehe maaf deh, Ka maaf. Lu tau kan gimana gue kalo lagi kesel sama orang.”
“Dasar Icha, bisa banget bikin orang enggak jadi marah dengan tampang polos kaya anak kecil gitu.”
Aku hanya tersenyum melihat keharmonisan hubungan kakak beradik itu.

***

About Me


 
CERPEN QTA© Designed by: Compartidisimo